Jumat, 02 Desember 2011 | 03:12 WIB
Bogorpos.com
- Senin pagi di perempatan lampu merah
Tugu Kujang Bogor, seorang bocah terlihat mendekati kendaraan umum dengan baju
kusut dan lecek sambil menyanyi dengan suara yang cempreng dan lagu yang tak
pantas ia nyanyikan. Berharap mendapatkan rezeki, bocah itu malah menerima
ocehan caci maki dari penumpang yang ada di dalamnya. Namun, sedikitpun
tidak tampak ekspresi marah dari pengamen cilik tersebut, rupanya makian
seperti yang baru saja diterimanya adalah makanan sehari-hari bagi mereka.
Sebut saja Ijal, bocah berusia 12 tahun yang tidak tahu
siapa kedua orang tuanya. Hidupnya sebatang kara, hanya berteman dengan sebuah
botol plastik berisikan pasir sebagai modal ia mengais rezeki. Sungguh
ironis, bocah seusia dia yang semestinya belajar di sekolah malah harus mencari
nafkah bagi dirinya sendiri. Ijal menggantungkan hidupnya di jalanan. Ia
seharusnya sekolah, ia seharusnya bermain. Tetapi, guratan nasib menyebabkan
Ijal tidak berada pada keadaan yang seharusnya. Tak hanya Ijal yang bernasib
seperti ini, masih banyak Ijal-ijal lainnya di jalanan.
Sementara, model pergaulan di jalanan sebagaimana kita
ketahui adalah sebuah pergaulan yang bebas, keras, dan membahayakan masa depan bocah
- bocah itu, disinilah mereka mulai mengenal rokok, minuman beralkohol, sampai
narkoba.
Sering kita melihat dalam pemberitaan televisi,
bagaimana mereka berkejaran dengan aparat keamanan demi menghindari
penangkapan, rehabilitasi tak memberi efek jera bagi mereka karena setelah itu
mereka kembali asik menjalani hidup di jalanan.
Problematika sosial ini menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi
pemerintah, disamping sibuk menuntaskan kasus korupsi yang kian marak, dan
terus bermunculan hingga tak terselesaikan. Faktanya, beberapa kasus korupsi
belum 100% terpecahkan. Apakah harus menunggu kasus korupsi
terpecahkan?
Rehabilitasi
bukan merupakan sebuah solusi, sebetulnya, solusi utama masalah ini
adalah perekonomian dan penghidupan yang layak, sekolah gratis dan
mendapatkan penghidupan yang pantas mereka jalani sebagaimana mestinya.
Harus
sampai kapan mereka menggantungkan nasibnya di jalanan? apakah mereka harus
mengemis terus hingga ajal menjemput mereka?
Kisah : Pengamen Wanita Yang Mengamen
Dengan Anaknya
Malam
baru saja memulai perjalanannya ketika penulis, istri dan anak bungsu penulis :
Raya, beranjak dari rumah untuk mencari panganan makan malam. Dengan
menggunakan motor matic yang setia mengantar ke tujuan-tujuan yang pendek dan
singkat, kami mengarah ke warung penjual makanan favorit penulis dan keluarga :
Bebek goreng sambal hijau yang terletak di jalan raya Hankam – Pondok Gede.
Hanya berselang 10 menit, kami tiba di warung sederhana di pinggir jalan ini.
Setelah memesan makanan favorit kami itu, kami pun duduk di kursi yang
disediakan. Tak perlu menunggu terlalu lama, makanan yang kami pesan datang dan
kami pun segera dengan lahap menikmatinya.
Di
tengah-tengah menikmati masakan bebek goreng sambal hijau, tiba-tiba terdegar
suara seorang anak yang dengan sopan meminta ijin untuk mengamen. Posisi kami yang
membelakangi arah pintu masuk membuat kami tidak bisa melihat secara langsung
si empunya suara. Kami hanya berfikir, paling juga pengamen anak-anak biasa
yang memang banyak bertebaran di Jakarta. Alat musik yang digunakan untuk
mengiringi mereka bernyanyi pun biasanya tak lebih dari dari rentetan tutup
botol bekas minuman yang dipasang di sebilah kayu. Kami melanjutkan makan malam
kami sambil menyiapkan selembar uang seribuan untuk imbalan mereka menyanyi.
Yah, apa salahnya memberikan uang kecil untuk pengamen meskipun belum tentu
suaranya enak di dengar.
Lalu
terdengar suara gitar di petik dengan cukup apik sebagai intro sebuah lagu,
dan…. Suara yang merdu tapi lugu khas suara anak-anak terdengar mengiris malam.
Tak lama kemudian suara wanita menimpali suara anak-anak itu seakan memberikan
tambahan suara magis yang seakan terdengar asing di telinga! Penulis tersentak
dan secara reflek melihat ke arah suara yang tidak biasa itu berasal : Seorang
anak kecil berumur 10 tahunan yang berkacamata minus berdiri di depan warung
makan itu. Pakaiannya tidak bisa disebut baru tapi tampak bersih dan rapi :
kaus warna merah lengan pendek dan celana panjang lengkap dengan sepatu berkaus
kaki. Di sebelahnya, berdiri seorang ibu berambut panjang ikal dan berkaca mata
juga mengenakan kaos warna merah yang sudah agak lusuh tapi tampak bersih
dengan celana panjang berbahan jeans. Kakinya terbungkus sepatu kulit warna
coklat. Di pundaknya, tersampir sebuah gitar klasik yang sekarang sedang
dimainkannya.
Ibu Rina dan Andika
saat bernyanyi di depan pengunjung warung makan
Baru
kali ini penulis melihat pemandangan menakjubkan seperti ini. Selain takjub
dengan penyanyi yang tidak biasa dan cara mereka berpakaian yang rapi dan
terpelajar, juga suara anak kecil dan sang ibu dengan iringan petikan gitar
yang merdu seakan membuat kami enggan melanjutkan kunyahan makanan yang sudah
ada di dalam mulut kami. Beberapa kali penulis berpandangan dengan istri
penulis. Rasanya kami sependapat bahwa mereka berdua pasangan yang luar biasa.
Tentu ada alasan kuat yang membuat pasangan ini harus mencari nafkah dengan
cara seperti itu karena cara mereka berpakaian dan cara mereka bersikap seakan
menunjukkan bahwa mereka berasal dari keluarga yang berpendidikan. Pada
dasarnya kami berdua gampang terenyuh dengan hal-hal seperti ini.
Kami
pun menikmati alunan suara dan petikan gitar yang didendangkan sehingga rasa
makanan pun tak terlalu kami hiraukan lagi. Tak terasa, lagu pertama selesai
dinyanyikan. Terlihat sang ibu menyerahkan gitar yang disandangnya dan
menyerahkan ke anaknya. Penulis berfikir : apalagi yang akan dilakukan si anak
kecil dengan tubuh kurusnya itu. Dan…….wow!! si anak kecil dengan cukup baik
memainkan alat musik itu yang tampak terlalu besar untuk disandangnya. Dia pun
bernyanyi dengan suaranya yang khas diiringi suara sang ibu yang tetap berdiri
di sampingnya.
Tak
terasa, mata penulis berair, terharu menyaksikan pemandangan ini. Terharu
dengan cara sang anak bernyanyi yang penuh perasaan dan dengan segala
kepolosannya serta membayangkan perjuangan si anak dan sang ibu yang dengan
terpaksa harus mencari nafkah dengan cara seperti itu. Penulis menoleh ke
samping, istri penulis pun beberapa kali mengejapkan matanya menahan runtuhnya
air mata. Kami berdua telah mengalami susahnya hidup di Jakarta dan berjuang
untuk mengatasinya selama bertahun-tahun hingga seperti sekarang ini. Tapi
rasanya perjuangan kami itu tidak seberapa dibanding dengan perjuangan pasangan
pengamen yang menakjubkan ini. Setelah selesai bernyanyi, sang ibu lalu
menghampiri pengunjung warung makan itu. Uang lembar seribuan yang telah kami
siapkan seakan menjadi tak pantas lagi kami berikan. Sebagai gantinya kami
berikan selembar uang yang jauh lebih besar. Itu pun bagi kami tak pantas
diberikan karena kemampuan mereka bernyanyi dengan tanpa ragu, tanpa malu dan
tanpa ada rasa gengsi rasanya tak bisa dihargai dengan selembar uang yang telah
kami berikan itu.
Setelah
penulis dan keluarga menyelesaikan makan, penulis dan istri menghampiri kedua
pengamen terpelajar itu yang tengah duduk di emperan teras sebuah toko samping
warung sambil menikmati segelas teh hangat yang diminum bergantian. Setelah
berbasa-basi sebentar, penulis mencoba mengorek identitas mereka. Sang Ibu
bernama Ibu Rina yang berasal dari Yogya, namun masih mempunyai keturunan darah
Tapanuli dari sang Ayah. Sedangkan sang anak yang merupakan anak kandung ibu
Rina, bernama Andika, berumur 10 tahun dan saat ini duduk di kelas 5 SD. Sudah
2 tahun mereka melakukan profesi sebagai pengamen dan dengan setia menghibur
para pengunjung warung makan itu. Dari hasil mereka mengamen, mereka berusaha
bertahan hidup untuk biaya makan dan biaya sekolah. Sang ibu masih memiliki 2
orang anak, dimana yang paling kecil saat ini masuk usia sekolah TK. Saat
mereka mengamen, anak-anak yang masih kecil ditunggui oleh ibunda sang ibu di
rumah kontrakan mereka yang sederhana tak jauh dari warung bebek itu.
Ibu Rina dan Andika
di depan Warung Makan tempat mereka mencari nafkah
Saat
penulis menanyakan profesi sang suami, dengan raut muka sedih yang berusaha
disembunyikannya, sang ibu mengatakan bahwa si suami sudah lama tidak pulang
dan tak lagi bertanggung jawab untuk menafkahi keluarga mereka. Jadi mereka
benar-benar tergantung dari hasil mengamen ini serta dari hasil ‘manggung’ sang
anak yang ternyata sudah mendapat panggilan nyanyi di pesta-pesta ulang tahun
anak-anak. Ibu Rina lalu bercerita bahwa dulu pernah ada yang berjanji
mengupload video anaknya yang sedang menyanyi ke Youtube, tapi hingga saat ini
video itu tidak pernah dirilis. Memang sangat disayangkan jika bakat terpendam
sang anak tidak disalurkan di jalan yang tepat.
Yang
patut dihargai adalah meskipun keadaan mereka dalam keadaan serba sulit, sang
ibu tetap berusaha memperhatikan pendidikan anak-anaknya dan sang anak tetap
berusaha sekolah dan berperilaku sopan seperti yang diperlihatkannya saat itu.
Ya
Allah, betapa beruntungnya penulis dan keluarga menikmati rezeki yang Engkau
limpahkan saat ini. Dan masih banyak orang-orang yang belum seberuntung kami
namun tetap gigih untuk menjalani hidup dengan jalan yang halal dan benar :
tanpa ragu, tanpa rasa malu, tanpa gengsi, demi meneruskan hidup.
Semoga
ibu Rina diberikan ketabahan dan kesabaran dalam menjalani hidup dan dibukakan
pintu rezeki untuk mencari nafkah yang lebih baik demi keluarganya. Dan untuk
Andika, sang anak berbakti yang gigih menyertai sang ibu bernyanyi dan dengan
bakat menyanyinya yang istimewa, semoga dibukakan pintu menjadi seorang
penyanyi yang baik. Penyanyi yang beranjak dari nol hingga menjadi penyanyi
yang dikenal setiap orang sehingga dapat mengangkat derajat keluarganya.
Penulis percaya, suatu saat Andika akan menjadi seperti itu. Amin….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar