Selasa, 08 Mei 2012

Nasib Malang Pengamen Cilik

Jumat, 02 Desember 2011 | 03:12 WIB

Bogorpos.com - Senin pagi di perempatan lampu merah Tugu Kujang Bogor, seorang bocah terlihat mendekati kendaraan umum dengan baju kusut dan lecek sambil menyanyi dengan suara yang cempreng dan lagu yang tak pantas ia nyanyikan. Berharap mendapatkan rezeki, bocah itu malah menerima ocehan caci maki dari penumpang yang ada di dalamnya.  Namun, sedikitpun tidak tampak ekspresi marah dari pengamen cilik tersebut, rupanya makian seperti yang baru saja diterimanya adalah makanan sehari-hari bagi mereka.  
Sebut saja Ijal, bocah berusia 12 tahun yang tidak tahu siapa kedua orang tuanya. Hidupnya sebatang kara, hanya berteman dengan sebuah botol plastik berisikan pasir sebagai modal ia mengais rezeki.  Sungguh ironis, bocah seusia dia yang semestinya belajar di sekolah malah harus mencari nafkah bagi dirinya sendiri. Ijal menggantungkan hidupnya di jalanan.  Ia  seharusnya sekolah, ia seharusnya bermain. Tetapi, guratan nasib menyebabkan Ijal tidak berada pada keadaan yang seharusnya. Tak hanya Ijal yang bernasib seperti ini, masih banyak Ijal-ijal lainnya di jalanan. 


Sementara, model pergaulan di jalanan sebagaimana kita ketahui adalah sebuah pergaulan yang bebas, keras, dan membahayakan masa depan bocah - bocah itu, disinilah mereka mulai mengenal rokok, minuman beralkohol, sampai narkoba. 
Sering kita melihat dalam pemberitaan televisi,  bagaimana mereka berkejaran dengan aparat keamanan demi menghindari penangkapan, rehabilitasi tak memberi efek jera bagi mereka karena setelah itu mereka kembali asik menjalani hidup di jalanan.
Problematika sosial ini menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi pemerintah, disamping sibuk menuntaskan kasus korupsi yang kian marak, dan terus bermunculan hingga tak terselesaikan. Faktanya, beberapa kasus korupsi belum 100% terpecahkan.  Apakah harus menunggu kasus korupsi terpecahkan? 

Rehabilitasi bukan merupakan sebuah solusi, sebetulnya,  solusi utama masalah ini adalah perekonomian dan penghidupan yang layak,  sekolah gratis dan mendapatkan penghidupan yang pantas mereka jalani sebagaimana mestinya.
Harus sampai kapan mereka menggantungkan nasibnya di jalanan? apakah mereka harus mengemis terus hingga ajal menjemput mereka?

Kisah : Pengamen Wanita Yang Mengamen Dengan Anaknya

Malam baru saja memulai perjalanannya ketika penulis, istri dan anak bungsu penulis : Raya, beranjak dari rumah untuk mencari panganan makan malam. Dengan menggunakan motor matic yang setia mengantar ke tujuan-tujuan yang pendek dan singkat, kami mengarah ke warung penjual makanan favorit penulis dan keluarga : Bebek goreng sambal hijau yang terletak di jalan raya Hankam – Pondok Gede. Hanya berselang 10 menit, kami tiba di warung sederhana di pinggir jalan ini. Setelah memesan makanan favorit kami itu, kami pun duduk di kursi yang disediakan. Tak perlu menunggu terlalu lama, makanan yang kami pesan datang dan kami pun segera dengan lahap menikmatinya.
Di tengah-tengah menikmati masakan bebek goreng sambal hijau, tiba-tiba terdegar suara seorang anak yang dengan sopan meminta ijin untuk mengamen. Posisi kami yang membelakangi arah pintu masuk membuat kami tidak bisa melihat secara langsung si empunya suara. Kami hanya berfikir, paling juga pengamen anak-anak biasa yang memang banyak bertebaran di Jakarta. Alat musik yang digunakan untuk mengiringi mereka bernyanyi pun biasanya tak lebih dari dari rentetan tutup botol bekas minuman yang dipasang di sebilah kayu. Kami melanjutkan makan malam kami sambil menyiapkan selembar uang seribuan untuk imbalan mereka menyanyi. Yah, apa salahnya memberikan uang kecil untuk pengamen meskipun belum tentu suaranya enak di dengar.
Lalu terdengar suara gitar di petik dengan cukup apik sebagai intro sebuah lagu, dan…. Suara yang merdu tapi lugu khas suara anak-anak terdengar mengiris malam. Tak lama kemudian suara wanita menimpali suara anak-anak itu seakan memberikan tambahan suara magis yang seakan terdengar asing di telinga! Penulis tersentak dan secara reflek melihat ke arah suara yang tidak biasa itu berasal : Seorang anak kecil berumur 10 tahunan yang berkacamata minus berdiri di depan warung makan itu. Pakaiannya tidak bisa disebut baru tapi tampak bersih dan rapi : kaus warna merah lengan pendek dan celana panjang lengkap dengan sepatu berkaus kaki. Di sebelahnya, berdiri seorang ibu berambut panjang ikal dan berkaca mata juga mengenakan kaos warna merah yang sudah agak lusuh tapi tampak bersih dengan celana panjang berbahan jeans. Kakinya terbungkus sepatu kulit warna coklat. Di pundaknya, tersampir sebuah gitar klasik yang sekarang sedang dimainkannya.
Ibu Rina dan Andika saat bernyanyi di depan pengunjung warung makan
Ibu Rina dan Andika saat bernyanyi di depan pengunjung warung makan
Baru kali ini penulis melihat pemandangan menakjubkan seperti ini. Selain takjub dengan penyanyi yang tidak biasa dan cara mereka berpakaian yang rapi dan terpelajar, juga suara anak kecil dan sang ibu dengan iringan petikan gitar yang merdu seakan membuat kami enggan melanjutkan kunyahan makanan yang sudah ada di dalam mulut kami. Beberapa kali penulis berpandangan dengan istri penulis. Rasanya kami sependapat bahwa mereka berdua pasangan yang luar biasa. Tentu ada alasan kuat yang membuat pasangan ini harus mencari nafkah dengan cara seperti itu karena cara mereka berpakaian dan cara mereka bersikap seakan menunjukkan bahwa mereka berasal dari keluarga yang berpendidikan. Pada dasarnya kami berdua gampang terenyuh dengan hal-hal seperti ini.
Kami pun menikmati alunan suara dan petikan gitar yang didendangkan sehingga rasa makanan pun tak terlalu kami hiraukan lagi. Tak terasa, lagu pertama selesai dinyanyikan. Terlihat sang ibu menyerahkan gitar yang disandangnya dan menyerahkan ke anaknya. Penulis berfikir : apalagi yang akan dilakukan si anak kecil dengan tubuh kurusnya itu. Dan…….wow!! si anak kecil dengan cukup baik memainkan alat musik itu yang tampak terlalu besar untuk disandangnya. Dia pun bernyanyi dengan suaranya yang khas diiringi suara sang ibu yang tetap berdiri di sampingnya.
Tak terasa, mata penulis berair, terharu menyaksikan pemandangan ini. Terharu dengan cara sang anak bernyanyi yang penuh perasaan dan dengan segala kepolosannya serta membayangkan perjuangan si anak dan sang ibu yang dengan terpaksa harus mencari nafkah dengan cara seperti itu. Penulis menoleh ke samping, istri penulis pun beberapa kali mengejapkan matanya menahan runtuhnya air mata. Kami berdua telah mengalami susahnya hidup di Jakarta dan berjuang untuk mengatasinya selama bertahun-tahun hingga seperti sekarang ini. Tapi rasanya perjuangan kami itu tidak seberapa dibanding dengan perjuangan pasangan pengamen yang menakjubkan ini. Setelah selesai bernyanyi, sang ibu lalu menghampiri pengunjung warung makan itu. Uang lembar seribuan yang telah kami siapkan seakan menjadi tak pantas lagi kami berikan. Sebagai gantinya kami berikan selembar uang yang jauh lebih besar. Itu pun bagi kami tak pantas diberikan karena kemampuan mereka bernyanyi dengan tanpa ragu, tanpa malu dan tanpa ada rasa gengsi rasanya tak bisa dihargai dengan selembar uang yang telah kami berikan itu.
Setelah penulis dan keluarga menyelesaikan makan, penulis dan istri menghampiri kedua pengamen terpelajar itu yang tengah duduk di emperan teras sebuah toko samping warung sambil menikmati segelas teh hangat yang diminum bergantian. Setelah berbasa-basi sebentar, penulis mencoba mengorek identitas mereka. Sang Ibu bernama Ibu Rina yang berasal dari Yogya, namun masih mempunyai keturunan darah Tapanuli dari sang Ayah. Sedangkan sang anak yang merupakan anak kandung ibu Rina, bernama Andika, berumur 10 tahun dan saat ini duduk di kelas 5 SD. Sudah 2 tahun mereka melakukan profesi sebagai pengamen dan dengan setia menghibur para pengunjung warung makan itu. Dari hasil mereka mengamen, mereka berusaha bertahan hidup untuk biaya makan dan biaya sekolah. Sang ibu masih memiliki 2 orang anak, dimana yang paling kecil saat ini masuk usia sekolah TK. Saat mereka mengamen, anak-anak yang masih kecil ditunggui oleh ibunda sang ibu di rumah kontrakan mereka yang sederhana tak jauh dari warung bebek itu.
Ibu Rina dan Andika di depan Warung Makan tempat mereka mencari nafkah
Ibu Rina dan Andika di depan Warung Makan tempat mereka mencari nafkah
Saat penulis menanyakan profesi sang suami, dengan raut muka sedih yang berusaha disembunyikannya, sang ibu mengatakan bahwa si suami sudah lama tidak pulang dan tak lagi bertanggung jawab untuk menafkahi keluarga mereka. Jadi mereka benar-benar tergantung dari hasil mengamen ini serta dari hasil ‘manggung’ sang anak yang ternyata sudah mendapat panggilan nyanyi di pesta-pesta ulang tahun anak-anak. Ibu Rina lalu bercerita bahwa dulu pernah ada yang berjanji mengupload video anaknya yang sedang menyanyi ke Youtube, tapi hingga saat ini video itu tidak pernah dirilis. Memang sangat disayangkan jika bakat terpendam sang anak tidak disalurkan di jalan yang tepat.

Yang patut dihargai adalah meskipun keadaan mereka dalam keadaan serba sulit, sang ibu tetap berusaha memperhatikan pendidikan anak-anaknya dan sang anak tetap berusaha sekolah dan berperilaku sopan seperti yang diperlihatkannya saat itu.

Ya Allah, betapa beruntungnya penulis dan keluarga menikmati rezeki yang Engkau limpahkan saat ini. Dan masih banyak orang-orang yang belum seberuntung kami namun tetap gigih untuk menjalani hidup dengan jalan yang halal dan benar : tanpa ragu, tanpa rasa malu, tanpa gengsi, demi meneruskan hidup.
Semoga ibu Rina diberikan ketabahan dan kesabaran dalam menjalani hidup dan dibukakan pintu rezeki untuk mencari nafkah yang lebih baik demi keluarganya. Dan untuk Andika, sang anak berbakti yang gigih menyertai sang ibu bernyanyi dan dengan bakat menyanyinya yang istimewa, semoga dibukakan pintu menjadi seorang penyanyi yang baik. Penyanyi yang beranjak dari nol hingga menjadi penyanyi yang dikenal setiap orang sehingga dapat mengangkat derajat keluarganya. Penulis percaya, suatu saat Andika akan menjadi seperti itu. Amin….
     

Tidak ada komentar: