Senin, 07 Mei 2012

Fenomena “Kumpul Kebo” di Lingkungan Kampus


Salah satu masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah “kumpul kebo” yang terkesan menjadi hal yang biasa dengan anggapan bahwa hal tersebut adalah bagian dari kehidupan modern. “Kumpul kebo” memiliki pengertian perbuatan tinggal bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa diikat oleh suatu tali perkawinan yang sah.
 





Pelaku kumpul kebo di kalangan mahasiswa mengadopsi kehidupan “kumpul kebo” dari Kebudayaan Barat bahwa  “kumpul kebo” adalah hal yang biasa. Padahal seks sebelum menikah adalah hal yang tabu pada kultur Indonesia. Norma-norma Indonesia tidak menyediakan ruang bagi pasangan “kumpul kebo”. Oleh karena itu berita seseorang yang menjalani kehidupan “kumpul kebo” akan menjadi gaduh sosial. Namun norma yang menabukan “kumpul kebo” dan sanksi sosial yang mengancam pelakunya ternyata tidak cukup kuat untuk sekedar meminimalkan banyaknya pelaku “kumpul kebo”.

Budaya hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau “kumpul kebo” sudah menjadi hal yang biasa dan dimaklumi secara kultural di negara-negara barat. Contoh yang sering terjadi adalah kisah para pemain sepak bola di Eropa yang hampir selalu hidup serumah dengan pacar-pacarnya kendati pun mereka belum menikah. Tidak jarang mereka baru menikah setelah memiliki anak. Kehidupan “kumpul kebonya” menjadi berita di media dan mengganggap bahwa kehidupan “kumpul kebo” lazim dilakukan sebelum menikah. Meskipun demikian, kehidupan mereka tidak menimbulkan gaduh sosial karena kultur di negeri barat melazimkan kehidupan “kumpul kebo”. Di Negara Barat mereka yang melakukan “kumpul kebo” lebih didasarkan pada keinginan mencocokkan diri sebelum mereka benar-benar menikah. Bila pasangan tersebut merasa cocok mereka dapat melanjutkan ke jenjang pernikahan, tetapi bila tidak ada kecocokkan mereka dapat berpisah. Hal ini dapat dilakukan meskipun mereka sudah memiliki anak dari hasil hubungan tersebut.

Fenomena “kumpul kebo” yg terjadi di lingkungan kampus, praktek “kumpul kebo” yang dijalani sejumlah mahasiswa – mahasiswi di tempat kos mereka masing-masing yang berada disekitar kampus dan menjadi bagian dari pemukiman penduduk sipil. Hidup bersama tanpa menikah di tempat kos-kosan di kalangan mahasiswa kian marak terjadi. Mahasiswa yang melakukan “kumpul kebo” biasanya adalah mahasiswa pendatang atau mahasiswa yang berasal dari luar daerah. Mereka beralasan faktor keuangan menjadi pemicu mereka melakukan “kumpul kebo”. Demi menghemat pengeluaran uang untuk sewa kos dan dipengaruhi faktor lainnya, mereka memilih ‘tinggal bersama’ tanpa ikatan tali pernikahan. 

Mereka berpacaran tetapi derajatnya lebih tinggi dari berpacaran biasa. Tidak cuma makan bersama, mencuci bersama, rekreasi bersama, tetapi juga tidur bersama. Hal ini tersirat bahwa, kalau sudah tidur bersama sekian malam dalam seminggu, tidak dipungkiri mereka juga melakukan aktivitas seksual. Mereka sudah lama hidup bersama tanpa nikah.
Penyebab terjadinya hidup bersama tanpa nikah  ato sering disebut ”kumpul kebo” di lingkungan kampus antara lain toleransi masyarakat sekitar. Mereka mengetahui hal tersebut tetapi menganggap “biasa”, sepanjang tidak menimbulkan gangguan yang merugikan orang lain. Biasanya mereka dari golongan ekonomi bawah dan pendatang. Jelas fenomena kumpul kebo dikalangan mahasiswa ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena kalau kita membiarkanya sama saja kita menutup mata untuk mendukung adanya kegiatan sex bebas (kumpul kebo) terselubung antar mahasiswa dan mahasiswi  yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan moralitas beragama.

Sudah saatnya para penguasa, tokoh masyarakat dan anggota dewan (minimal DPRD) memperjuangkan lahirnya perda (peraturan daerah) yang melarang hidup seatap tanpa ikatan nikah, melahirkan aturan yang ketat bagi pengelola rumah kos-kosan ataupun kontrakan, sehingga praktik kumupl kebo alias perzinaan dapat diberantas tuntas. Di samping itu razia-razia dan penggerebekan dari pihak yang berwenang perlu diintensipkan dan digiatkan lagi, agar praktek kumpul kebo dan zina serta kejahatan lainnya yang bersarang di kos-kosan di mana-mana itu dapat disapu bersih. Sehingga masyarakat hidup dalam ketenangan dan damai.

            Jika kita melihat pergaulan antara remaja Indonesia dengan Ngeraa Barat sangat amat berbeda. Bila bangsa kita meniru adat buruk mereka maka tidak heran jika nanti para remaja Indonesia akan menjadi remaja yang tidak bermoral bahkan tidak memiliki agama. Bagaimana tidak, melihat keadaan sekarang saja banyak yang berstatus memiliki keyakinan pribadi di KTP masing-masing. Tetapi akhlak dan perkataan bagaikan tidak memiliki keyakinan tersebut. Padahal keyakinan manapun tidak ada yang mengajarkan demikian.

Tindakan waspada bukan hanya oleh Pemerintah saja, namun orangtua atau orang-orang terdekat remaja tersebut. Siapa lagi yanga akan mulai membina selain orang terdekat. Kemudian setelah itu baru diberikan pertolongan oleh Pemerintah daerah dan pusat. Mungkin dengan cara tidak memeberikan izin pada stasiun televisi yang akan menayangkan hal-hal yang tidak beretika, menertibkan berbagai kost disekitar kampus secara ketat, memberikan tim keamanan disetiap kawasan yang dianggap ramai dan rawan untuk terjadinya hal buruk tersebut.
     


Tidak ada komentar: