Salah satu masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah “kumpul kebo” yang terkesan menjadi hal yang biasa dengan anggapan bahwa hal tersebut adalah bagian dari kehidupan modern. “Kumpul kebo” memiliki pengertian perbuatan tinggal bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa diikat oleh suatu tali perkawinan yang sah.
Pelaku kumpul kebo di kalangan mahasiswa mengadopsi kehidupan “kumpul kebo” dari Kebudayaan Barat bahwa “kumpul kebo” adalah hal yang biasa. Padahal seks sebelum menikah adalah hal yang tabu pada kultur Indonesia. Norma-norma Indonesia tidak menyediakan ruang bagi pasangan “kumpul kebo”. Oleh karena itu berita seseorang yang menjalani kehidupan “kumpul kebo” akan menjadi gaduh sosial. Namun norma yang menabukan “kumpul kebo” dan sanksi sosial yang mengancam pelakunya ternyata tidak cukup kuat untuk sekedar meminimalkan banyaknya pelaku “kumpul kebo”.
Budaya hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau “kumpul
kebo” sudah menjadi hal yang biasa dan dimaklumi secara kultural di
negara-negara barat. Contoh yang sering terjadi adalah kisah para pemain sepak
bola di Eropa yang hampir selalu hidup serumah dengan pacar-pacarnya kendati
pun mereka belum menikah. Tidak jarang mereka baru menikah setelah memiliki
anak. Kehidupan “kumpul kebonya” menjadi berita di media dan mengganggap bahwa
kehidupan “kumpul kebo” lazim dilakukan sebelum menikah. Meskipun demikian,
kehidupan mereka tidak menimbulkan gaduh sosial karena kultur di negeri barat melazimkan
kehidupan “kumpul kebo”. Di Negara Barat mereka yang melakukan “kumpul kebo”
lebih didasarkan pada keinginan mencocokkan diri sebelum mereka benar-benar
menikah. Bila pasangan tersebut merasa cocok mereka dapat melanjutkan ke
jenjang pernikahan, tetapi bila tidak ada kecocokkan mereka dapat berpisah. Hal
ini dapat dilakukan meskipun mereka sudah memiliki anak dari hasil hubungan
tersebut.
Fenomena “kumpul kebo” yg terjadi di lingkungan kampus,
praktek “kumpul kebo” yang dijalani sejumlah mahasiswa – mahasiswi di tempat
kos mereka masing-masing yang berada disekitar kampus dan menjadi bagian dari
pemukiman penduduk sipil. Hidup bersama tanpa menikah di tempat kos-kosan di
kalangan mahasiswa kian marak terjadi. Mahasiswa yang melakukan “kumpul kebo” biasanya
adalah mahasiswa pendatang atau mahasiswa yang berasal dari luar daerah. Mereka
beralasan faktor keuangan menjadi pemicu mereka melakukan “kumpul kebo”. Demi
menghemat pengeluaran uang untuk sewa kos dan dipengaruhi faktor lainnya,
mereka memilih ‘tinggal bersama’ tanpa ikatan tali pernikahan.
Mereka berpacaran tetapi derajatnya lebih tinggi dari
berpacaran biasa. Tidak cuma makan bersama, mencuci bersama, rekreasi bersama,
tetapi juga tidur bersama. Hal ini tersirat bahwa, kalau sudah tidur bersama
sekian malam dalam seminggu, tidak dipungkiri mereka juga melakukan aktivitas
seksual. Mereka sudah lama hidup bersama tanpa nikah.
Penyebab terjadinya hidup bersama tanpa nikah ato
sering disebut ”kumpul kebo” di lingkungan kampus antara lain toleransi masyarakat
sekitar. Mereka mengetahui hal tersebut tetapi menganggap “biasa”, sepanjang
tidak menimbulkan gangguan yang merugikan orang lain. Biasanya mereka dari
golongan ekonomi bawah dan pendatang. Jelas fenomena kumpul kebo dikalangan
mahasiswa ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena kalau kita membiarkanya
sama saja kita menutup mata untuk mendukung adanya kegiatan sex bebas (kumpul
kebo) terselubung antar mahasiswa dan mahasiswi yang dapat merusak
sendi-sendi kehidupan moralitas beragama.
Sudah saatnya para penguasa, tokoh masyarakat dan anggota
dewan (minimal DPRD) memperjuangkan lahirnya perda (peraturan daerah) yang
melarang hidup seatap tanpa ikatan nikah, melahirkan aturan yang ketat bagi
pengelola rumah kos-kosan ataupun kontrakan, sehingga praktik kumupl kebo alias
perzinaan dapat diberantas tuntas. Di samping itu razia-razia dan penggerebekan
dari pihak yang berwenang perlu diintensipkan dan digiatkan lagi, agar praktek
kumpul kebo dan zina serta kejahatan lainnya yang bersarang di kos-kosan di
mana-mana itu dapat disapu bersih. Sehingga masyarakat hidup dalam ketenangan
dan damai.
Jika
kita melihat pergaulan antara remaja Indonesia dengan Ngeraa Barat sangat amat
berbeda. Bila bangsa kita meniru adat buruk mereka maka tidak heran jika nanti
para remaja Indonesia akan menjadi remaja yang tidak bermoral bahkan tidak
memiliki agama. Bagaimana tidak, melihat keadaan sekarang saja banyak yang
berstatus memiliki keyakinan pribadi di KTP masing-masing. Tetapi akhlak dan perkataan
bagaikan tidak memiliki keyakinan tersebut. Padahal keyakinan manapun tidak ada
yang mengajarkan demikian.
Tindakan waspada bukan
hanya oleh Pemerintah saja, namun orangtua atau orang-orang terdekat remaja
tersebut. Siapa lagi yanga akan mulai membina selain orang terdekat. Kemudian setelah
itu baru diberikan pertolongan oleh Pemerintah daerah dan pusat. Mungkin dengan
cara tidak memeberikan izin pada stasiun televisi yang akan menayangkan hal-hal
yang tidak beretika, menertibkan berbagai kost disekitar kampus secara ketat,
memberikan tim keamanan disetiap kawasan yang dianggap ramai dan rawan untuk
terjadinya hal buruk tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar