Awal kuliah, saya pikir menjadi seorang mahasiswa itu senang-senang, bebas dan bisa mengenal dunia luar yang luas. Ternyata belum. Masih ada proses untuk menuju ke tahap itu. Di penghujung kelas 3 SMA cukup mengalami “STREES” yang lumayan. Adanya saingan antar teman sekelas dan seangkatan secara langsung maupun tidak langsung. Adanya jenjang sosial yang mencolok yang cukup membuat kuwalahan untuk bisa menyeimbangi pergaulan mereka. Belum lagi, adanya kegiatan bimbel yang ternyata di dalamnya terdapat anak-anak yang berlainan sekolahan. Tentu itu membuat tingkat persaingan semakin bertambah.
Berangkat ke sekolah pukul 6.15 WIB pulang ± 15.00 WIB. Disusul dengan bimbel di luar pukul ± 15.30 hingga 17.00 WIB. Belum lagi jika ada tugas personal, bukan tidak mungkin harus begadang hingga pukul 01.00 pagi. Jika memang sudah sangat lelah, pulang bimbel makan, sholat, mandi dan tidur. Bangun-bangun pukul 02.00-05.30 pagi. Akhirnya… ketika berangkat ke sekolah mata terasa berat dan bukan tidak mungkin di kelas bisa mengantuk, alhasil tidak konsen dengan pelajaran.
Berada di jurusan IPA memang bukan waktunya main-main. Bukan main-main di saat akhir saja, melainkan sejak awal. Sejak hati memutuskan bahwa diri ini ingin masuk jurusan tersebut. Tapi apa daya, penyesalan tidak pernah mau datang lebih awal. Dengan kemampuan yang ada akhirnya saya berusaha untuk semangat dan membenahi kekurangan nilai-nilai yang tertinggal dari teman-teman. Yak.. awalnya berpikir, saya harus mengejar nilai dari teman-teman sekelas, saya tidak boleh kalah dengan mereka, saya harus bisa menyaingi mereka, dan lain-lain. Intinya sebagai patokan saya berhasil adalah teman-teman.
Dari awal saya masuk SMA selalu berada di urutan kelas awal. Kelas X-1, Kelas XI IPA 1 dan Kelas XII IPA 1. Otomatis saya berada di zona yang kurang nyaman, karena ada beberapa anak pintar-pintar di kelas tersebut. Bahkan ada seorang siswa peringkat pertama seangkatan yang sekelas di kelas XI dan XII. Woooww!!! Kagum, bangga, senang, bersyukur, karena keinginan untuk masuk SMA Negeri terkabul dan bisa masuk jurusan IPA. Untuk masuk di urutan kelas awal bukanlah impian saya. Bagi saya ini hanya bonus yang diberikan oleh Allah SWT. Tetapi ada perasaan yang ikut menyusul, takut, cemas, deg-degan, bingung, sedih dan pusing. Apakah saya bisa mengikuti sampai akhir disini bersama mereka ???!!!....
Kelas X-1 |
Saat itu, menjalani kegiatan sehari-hari terasa biasa. Lelah dan keluh itu pasti ada, tapi tidak sampai benci atau bahkan muak. Namun saat itu semua berlalu, saya merasakan menjadi seorang pelajar yang terlalu tertekan dengan pendidikan saat itu. Benci, muak, kesal, marah dengan diri sendiri, dengan beberapa teman dan beberapa pengajar hanya diluapkan di dalam hati. Tiga tahun sekolah menimba ilmu yang betul-betul memakan waktu tenaga, uang, dll namun itu semua bisa dikalahkan dengan Ujian Nasional. Untuk masalah ini memang pro-kontra, tapi saya pernah menjadi pelajar yang mengalami hal tersebut dan itu sangat tertekan. Mungkin sebagian pelajari di Indonesia merasa biasa-biasa saja. Tapi tidak untuk saya.
Siswa Siswi Bimbingan Belajar |
Kecurangan-kecurangan dari tangan dan bisikan menggoda selalu beredar menjelang UN. Tapi karena sudah terlalu LELAH akhirnya memutuskan untuk terima NASIB. Jalani dengan tangan, otak dan hati sendiri. Entah apapun hasilnya saya yakin, kedua orangtua selalu berdoa untuk kelancaran anaknya. Hingga proses itu berjalan selama empat hari dan pengumuman kelulusan tiba, akhirnya Allah mengabulkan doa-doa hambanya. Lulus dengan nilai rata-rata yang ya.. bisa saya bilang lumayanlah. Lumayan terangkat dari keterpurukan selama masa Try Out. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan mereka yang menggunakan bantuan ‘AJAIB’ jelas beda jauh. Kesal, marah, iri dengan mereka itu ada. Tapi jika terus ditanam dalam hati, manfaat apa yang nantinya bisa dipetik. Toh, kedua orang tua juga menerima dengan ikhlas. Kebetulan orangtua adalah orangtua yang demokratis. Jadi mereka menerima hasil dari kemampuan anak-anaknya.
Tidak sampai disitu untuk proses menuju mahasiswa. Masih ada proses tes PTN. Beberapa tes tertulis untuk beberapa jenis tes baik Perguruan Tinggi hingga Sekolah Tinggipun di coba. Eng..ing..eng…. dan hasilnya adalah “Maaf, Anda….”, “Maaf, Anda….”, “Maaf, Anda….” Dan “Maaf, Anda….”. L jelas, deretan kalimat tersebut membuat tingkat strees meningkat pesat. Orang tua tidak tahu apa yang anaknya rasakan. Beliau hanya terus menyemangati dan memberikan fasilitas. Tapi jujur, saya sebagai anak menyesal, emosi, tidak tega, haahhh campur aduk. Saat mata terasa sudah cukup bengkak untuk beberapa hari, barulah sadar dan belajar ikhlas menerima takdir.
Allah tidak tidur dan tidak pelit terhadap semua insan manusia. Baiknya di mata manusia belum tentu baik di mata Allah. Tapi sebaliknya, baik di mata Allah sudah pasti baik untuk manusia. Oke, jalani selangkah demi selangkah, perlahan namun pasti. Hingga akhirnya rasa kekecewaan itu sirnah. Bangun planning untuk masa depan. J
Mengenal dunia perkuliahan masih kaku dan takut. Dari segi gaya, hangout, matakuliah, dll. Masa kelam di akhir-akhir SMA saya rasa sudah dibingkai dan diletakkan rapih dalam kotak bagian dasar. Jadi fokus saat itu adalah memperbaiki penyesalan ‘kemarin’. Banyaknya uang yang keluar untuk biaya pendaftaran tes, mengganti hutang budi orangtua yang selalu sedih ketika tahu anaknya tidak lolos tes PTN. Ya…meskipun kesedihannya ditutupi, tapi mata tidak pernah bohong.
Saya berinisiatif mencari lowongan pekerjaan (freelance) untuk tambah-tambah uang saku. Ada beberapa situs yang menawarkan job tersebut tapi terdapat persyaratan dimana calon pelamar harus mentransfer sejumlah uang ke nomor rekening perusahaan tersebut. Sempat hampir mengirim, namun jika itu adalah salah satu modus kejahatan. Artinya saya bukan membahagiakan orangtua, melainkan membuat mereka semakin sedih dan kecewa lagi. Akhinya saya urungkan niat tersebut. Hingga akhirnya, teman sekelas yang tinggal di kost-an dekat kampus mengajak saya untuk melamar di salah satu restoran makanan (junk food) untuk part time disana. Saat surat lamaran dan CV sudah dibuat ternyata itu semua diketahui oleh orangtua. Kesimpulannya beliau tidak mengijinkan anaknya kuliah + kerja di luar, kecuali jika menjadi asisten dosen. Rencana demi rencana ternyata gagal [lagi].
Sayapun memutuskan untuk konsen dengan UKM yang sedang digeluti di bidang akting dan kesenian (teater). Bukan seorang yang pandai berakting atau menari atau menyanyi atau hand craft. Tapi memang ingin mencoba hal baru yang belum saya alami. Mencari pengalaman dari sebuah tantangan itu saya pikir adalah jalan agar tidak lagi strees dalam menjalani masa-masa kuliah. Awalnya malu dan tidak percaya diri untuk bersuara di muka umum apalagi dibarengi dengan beberapa gaya tubuh layaknya seorang tokoh. Pergantian dialog, karakter, intonasi, gaya tubuh masih mengikuti instruksi pelatih. Hingga saat pelatih meminta kami untuk mengeksplor semua yang ada di salah satu tokoh, maka kami harus bisa mengolahnya.
Ternyata keingintahuan saya tentang teater membuat nyali ini lumayan mengatakan ‘BERANI’ untuk maju dalam tahap seleksi penokohan. Dimana UKM teater akan mengikuti lomba FTJS (Festival Teater Jakarta Selatan). Berkat keinginan tersebut dan semangat akhirnya saya membawakan peran seorang istri muda berusia sekitar 27 tahun dengan logat sunda yang memiliki suami sekitar 60 tahun. Kesulitan sering dialami, namun karena semangat tim dan pelatih yang selalu mengevaluasi kekurangan menumbukan keyakinan 100% bahwa ini semua akan berjalan dengan baik. :)
Usai pementasan tersebut, kemudian tidak lama dilakukan pergantian jabatan. Mulailah tantangan baru yang saya hadapi. Tanpa adanya musyawarah dengan semua anggota, tiba-tiba saya ditunjuk sebagai sekretaris di UKM tersebut. Lagi-lagi saya menemui yang namanya kesulitan. Tapi untungnya masih ada senior yang mem-backup untuk mengkoordinasikan beberapa dokumen baik suatu yang formal maupun informal. Pengalaman lagi-lagi saya dapatkan, bagaimana menjadi seorang notulen, mengambil sedikit tindakan ketika ketua atau wakil sedang berhalangan (meskipun tidak total), menemui beberapa pejabat kampus untuk keperluan persetujuan acara maupun peminjaman fasilitas kampus, mengenal beberapa teater luar dan sedikit banyak mengerti dalam pembuatan surat.
Sayangnya, hal itu tidak terlalu lama. Mungkin sekitar dua tahun bertahan di UKM tersebut. Karena alasan tidak bisa pulang larut malam, sedikit mengganggu kegiatan perkuliahan, menjadikan tingkat keborosan yang meningkat dan yang utama adalah kesenjangan komunikasi antar beberapa anggota yang dipikir sulit untuk disatukan. Hal ini membuat saya terpaksa keluar dan mencoba membenahi kegiatan normal mahasiswa pada umumnya. Hingga pada suatu hari saya masih teringat dengan keinginan untuk memberikan sedikit ya…bisa dibilang kebahagian kecil untuk orangtua.
Oiya, saya juga mendapat kesempatan menjadi salah satu panita (kakak PK) saat PPSPPT untuk Penerimaan Mahasiswa Baru 2012. Pengalaman yang saya alami adalah kerja sama dalam suatu komunikasi antar angota panitia bersama anggota BEM meskipun posisi saya dan beberapa teman hanya panitia ‘cabutan’. Kemudian cara mengkoordinir mahasiswa baru yang saya tangani. Mahasiswa baru tidak semuanya lulusan SMA pada tahun itu, ada yang sudah lulus dua tahun yang lalu dan sebagainya. Maka dari itu kejelasan komunikasi kepada mereka dan kesabarn sangat diperlukan. Pengalaman yang cukup menyenangkan. :)
PPSPPT Mahasiswa Baru 2012 |
Akhirya, harapan satu-satunya adalah menjadi asisten laboratorium. Ketika ada open recruitment saya mencoba dengan niat ‘coba-coba’. Mulai dari asisten penjaga loket, hingga asisten di salah satu lembaga. Iseng-iseng berhadiah, ternyata di telpon untuk interview menjadi asisten penjaga loket. Namun, jadwalnya berbarengan dengan tes praktik di lembaga. Seharusnya memilih yang interview, karena kesempatan diterimanya besar. Tapi hati lebih memilih untuk tetap ikut tes praktik, entah apa hasilnya nanti yang paling utama adalah mencari pengalaman. Bukan melihat segi nominal gaji, tapi ilmu. Jika saya menjadi asisten loket, mungkin ilmunya bagaimana cara penginputan data dan bonusnya adalah belajar sabar. Tetapi jika laboratorium di lembaga, ilmunya bisa berasal dari modul-modul yang dijadikan bahan kursus atau workshop dan pastinya bonus kesabaran. :)
Dan… habis gelap terbitlah terang. Setelah semua proses tes selesai tibalah pengumuman yang membuat smiling dan bersyukur. Sebuah kata “DITERIMA” sudah meringankan sedikit beban di pundak. Mencapai tahap ini cukup panjang, karena baru bisa mendapat kesempatan ini sekitar akhir semester 3. Menjadi asisten Lab?? Kedengarannya biasa atau bukan apa-apa. Tapi bagi saya ini kesempatan baik. Dapat pengalaman, ilmu, menambah teman baik dari senior asisten ataupun praktikan, bisa lebih dekat dengan beberapa dosen yang terlibat di lab tersebut, dll.
Asisten LePKom Internet - Bukber (2013) |
Asisten LePKom Internet - Hari Batik Nasional (2014) |
Asisten LePKom Internet - Selfie When Course (2014) |
Adanya niat atau keyakinan ternyata itu menjadikan modal besar untuk melangkah menuju planning yang diinginkan. Terserah sebagian mereka memandang sebelah mata atau hanya senyum simpul. Bagi saya, kerja keras itu tidak instan. Dan ketika hasil dari kerja keras itu sudah di dapat, bukan berarti melenggang kangkung dengan santainya bagai putri yang berjalan di red carpet dengan melambaikan tangan kanannya. Melainkan tanggung jawab yang siap berjalan bersama menuju hasil yang memuaskan. Dari semua itu yang paling berharga adalah PENGALAMAN..!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar